Jumat, 29 Mei 2009

Generasi Alternatif ?

sebenarnya waktu dikasih tau soal judul ini untuk bahan lomba debat antar jurusan, aq benar2 g bsa menggambarkan dalam pikiran seperti apa generasi alternatif ini, sehingga aq benar2 menyimak ketika waktu moderator mulai menjelaskan soal tema ini, tapi apa yang di jelaskan oleh moderator menurut aq masih terlalu mengglobal, dan judul ini sangat abstrak, sehingga secara personal saya tidak tertarik dengan judul ini, karena judul ini seperti sesuatu jalan keluar yang mutlak adanya atas segala kompleksitas yang terjadi di indonesia, dan aku lebih tertarik kepada apa yang menyebabkan kompleksitas itu sendiri......

ok, debat dimulai dengan mengemukakan pendapat masing-masing fakultas soal generasi alternatif (ya ampunnn suer dah..waktu dsni gw jd ngantuk) dan dsni semuanya mengemukakan bahwa generasi alternatif adalah generasi yang baru, generasi yang mampu menjawab segala persoalan-persoalan di indonesia, yang kemudian menjadi pertanyaan, apa kita mampu melahirkan generasi itu?

Sejujurnya gw lebih tertarik klo membicarakan tentang indonesia dan kompleksitas-kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain, dan tidak bisa dipisahkan ketika kita menginginkan sebuah perubahan, gw akan coba untuk menulis beberapa masalahnya.

Yang pertama yaitu soal pendidikan, tentang sejarah pendidikan di Indonesia dimulai ketika pada masa penjajahan belanda, pada waktu itu mereka kekurangan tenaga professional untuk mengisi posisi-posisi penting di bidang hukum, kedokteran, dan industry. Sehingga diciptakanlah “politik etis” yang menurut meniir-meniir bule ini adalah sebagai balas budi kepada bumi putera yang telah merelakan buminya untuk dijajah, tetapi yang kemudian yang terjadi adalah bumi putera dididik untuk menjadikan mereka sebagai buruh-buruh professional, dan ini terbawa-bawa sampai saat ini, mental buruh sudah mendarah daging di kepala setiap inlanders.

Yang kedua, soal epoch…. Hm…. Apa ya bahasa indonesianya? Gw artiin zaman aja deh, di dunia barat, mereka melalui fase-fase yang jelas, mulai dari zaman feudal, zaman pencerahan, sampai ke kapitalis, sedang di Indonesia fase ini tidak jelas, ketka semestinya sudah menjadi masyarakat industry, masih ada masyarakat yang tunduk terhadap kerajaan, artinya ada ketidak seimbangan kebudayaan di Indonesia, mungkin pada saat ini di mal-mal orang berbelaja tinggal gesek aja untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi jika kita melihat di gunung kidul, masih ada orang yang untuk memenuhi kebutuhan mereka menggunakan barter, ketimpangan budaya menurut aku adalah penyebab terciptanya pola pikir masyarakat yang pragmatis. Sehingga walaupun kita menjadi pemberontak yang setiap harinya turun kejalan, tidak ada gunanya ketika masih ada ketika masih ada orang yang berpikir “ngapain susah-susah turun ke jalan, kayak kurang kerjaan aja”

Yang ketiga, dibidang keagamaan, di Indonesia terutama islam, terjebak kedalam politik-poitik aliran, dan patronase yang menyuburkan sikap pragmatis tadi. Sehingga walaupun musim adalah mayoritas, kita tidak mempunyai kekuatan untuk membuat sebuah perubahan.

Ughhh….. ribet ya? Ya itulah Indonesia..
Bagi temen-temen yang menginginkan perubahan kita tidak bisa kemudian memusatkan perubahan itu pada satu masalah, dan yang paling penting yang harus kita camkan bahwa “REVOLUSI BUKANLAH RITUS PEMBERHALAAN SEJARAH PARA IDEOLOG ATAUPUN POITISI BESAR YANG TELAH MEMBACAKAN DIRI DIHADAPAN INGATAN MANUSIA MODERN”

Senin, 04 Mei 2009

Semi Feudal in Indonesian Political system

Dedicated to My Big Love”
Semi-Feudal In Indonesian Political System
Ade The Great

On puorrait nommer philosophie autocratique des techniques celle qui prend l’ensemble technique comme un lieu ou l’on utilize les machines pour obtenir de la puissance. La machine est seulement un moyen; la fin est la conquete de la nature, la domestication des forces naturelles au moyen d’un premier asservissement: la machine est un esclave qui sert a faire d’autres esclaves. Un pareille inspiration domininatrice et esclavagiste peut se rencontrer avec uni requite de liberte pour l’homme. Mais il est difficile de se liberer en transferant l’esclavage sur d’autres etres, homes, animaux ou machines; regner sur un people de machines asservissant le monde entire, c’est encore regner, et tout regne suppose l’acceptation des schemes d’asservissement
(Gilbert Simondon, Du Mode d’existence des objets techniques)

There’s a politic sociological indication which happens in recent political situation, that’s semi-feudalism in our political system. An illegal passenger (penumpang illegal alias Rombongan Liar-‘Romli’) in political system, it uses to describe someone who uses family power, family name, biological clan, as an instrument to hold the power, to become legislative, governor, and the other political positions.

The illegal passenger is sister, brother, or nephew who becomes legislative exploit the authority and the popularity of family and maybe parent’s popularity. Meanwhile, the illegal passenger has not political capability, has nothing for the nation and the state. Because many illegal passengers in Indonesia, we can call them ‘feudal generation’.

This feudal generation, of course can’t be hoped become politician with independent mentality and be autonomous for health and natural competition when this feudal generation has to compete with the citizens who come from their ability, their strength without popularity of family, without nepotism and feudal links.

This feudal generation is being used by the bigger political force, the patron, patrons who gave them the enjoyable way to hold the power. The patrons, absolutely will tell, ask, and insist the feudal generation to do something or maybe many things for the patron’s interest. And I think it’s not good for Indonesian people, and also hurts all Indonesian people. In fact, Indonesian political phenomenon can’t ‘escape’ from dynastic culture and semi-feudalism. I think when Indonesian people were doing National Movement and Independent Revolution; they wanted to destroy the dynastic culture and feudalism, beside Colonialism and Imperialism. In history record, those feudal elements can survive, and have protection from people who claim that they are democrat, with their egalitarian banners. The real Democracy can’t stand well in dynastic-feudal encirclement.

Many legislative members, the new comers have link with people who hold the power; their parents are famous politician or hold high politician position in our political system, they are feudal generation. They are: Edhie Baskoro Yudhoyono the son of Susilo Bambang Yudhoyono (President of Indonesia-Democrat Party), Puan Maharani the daughter of Megawati Soekarno Putri (former president of Indonesia-Indonesia Democratic Party-Struggle), Aditya Moha the son of Marlina Moha (Regent of Bolaang Mongondow/ Fuctional Group Party), Vanda Sarundajang the daughter of SH Sarundajang (Governor of North Sulawesi-Indonesia Democratic Party-Struggle), Awang Ferdian Hidayat the son of Awang Faroek Ishak (Governor of East Kalimantan), Karolin Margret Natasa the daughter of Cornelis ( Governor of West Kalimantan), Aditya Mutfi Ariffin the son of Rudy Ariffin (Governor of South Kalimantan), and many else, include the son of Agung Laksono, Amien Rais, etc.

The feudal generation could win the legislative election because their parent, their families are high state functional, or famous politicians (famous is different form good). Their parent used bureaucracy machine to influence voters to choose their children in legislative election.

Health democratic political system will create Meritocratic society: honorable position is only given to great people, people who have ability, capability, and other high criteria. Reformation movement eleven years ago had slogan anti-KKN (Corruption, Collusion, and Nepotism), Ironic, nowadays Indonesia political system contains corruption, collusion, and nepotism. Political pragmatics damages the destinations of reformation movement in 1998.

Actually after the proclamation of Indonesian Independency, there were some political parties which anti-feudalism, in political theoretic and political practices. They were, Masyumi Party, Communist Party of Indonesia, Socialist Party, and Catholic Party. Poor us, we don’t have any political parties which anti-feudalism in political theoretic and political practices nowadays.

Why do we have semi-feudal in political system? Maybe, first, recent political parties and political elites don’t like to learn from history. Don’t have desirability to continue the founding father’s political views about feudalism. Second, pragmatism culture has been covering their heart for long time; so that they don’t feel shy create the feudal generation, in which I believe it can make negative effects in our political system.

by...Rsyad ade irawan

Minggu, 03 Mei 2009

PEPSI N COCA COLA

Pepsi dan Coca Cola Mengandung Ekstrak Babi - TERBUKTI!! Baca dan Sebarkan!!!

Berita Buruk / Mengejutkan :

Pepsi dan Coca Cola mengandung ekstrak babi.

Kebanyakan orang2 tidak mengkonsumsi Pepsi dan Coca-Cola karena kandungan unsur kimia didalamnya yang sangat membahayakan tubuh seperti excessive carbonates, dll.

Namun, sekarang, tidak ada alasan yang lebih berbahaya lagi selain informasi berikut. Para ilmuwan dan peneliti di bidang kesehatan menyatakan bahwa mengkonsumsi Pepsi & Cola dapat mengakibatkan kanker dikarenakan bahan dasar pembuatannya berasal dari daging babi.

Babi adalah satu-satunya binatang yang mengkonsumsi sampah, kotoran hewan, dan urine. Pola makan babi ini menghasilkan tumbuhnya bakteri dan kuman yang sangat mematikan.

Berdasarkan laporan yang ditulis dalam Jordanian magazine, Rektor Delhi University Science and Technology, Dr. Mangoshada, secara ilmiah telah membuktikan bahwa bahan dasar pembuatan Pepsi dan Cola mengandung ekstrak yang berasal dari isi perut babi yang dapat mengakibatkan kanker dan penyakit mematikan lainnya.

Indian university menyelenggarakan uji terhadap dampak pengkonsumsian Pepsi dan Coca Cola. Hasil uji ini membuktikan bahwa pengkonsumsian Pepsi dan Coca memicu pada peningkatan kecepatan denyut jantung dan tekanan darah rendah.

Dan juga, pengkonsumsian 6 botol Pepsi atau Cola sekaligus dapat mengakibatkan kematian. Pepsi dan Coca Cola mengandung unsur2 kimia seperti: carbonic and phosphoric acids, citric acid yang dapat merusak gigi dan mengakibatkan kerapuhan pada tulang. Jika tulang (tulang disini adalah tulang yang berasal dari kerangka2 mayat yang telah dikuburkan selama 30 tahun) diletakkan dalam segelas Pepsi, maka tulang tersebut akan lumer selama 1 minggu.

Penelitian ini menetapkan bahwa calsium dapat larut dalam Pepsi dan Pepsi juga dapat melemahkan kandung kemih, ginjal, dan 'membunuh' pankreas dimana hal ini dapat mengakibatkan penyakit diabetes dan infeksi.

Penggemar Pepsi atau Coca-Cola, anda tidak perlu cemas karna masih banyak minuman-minuman lain di bumi ini, dan kita juga punya banyak alternatif minuman kesehatan seperti: jus buah, air kelapa, berbagai macam susu, dll, dan minuman2 ini juga sangat mudah didapatkan, bahkan di toko2 kecil skalipun.

MOHON SEBARKAN PESAN INI KEPADA SELURUH TEMAN DAN KONTAK YANG ADA DI MAIL ADDRESS ANDA

Sumber lain bisa didapatkan melalui www.tanyagoogle. com, silahnkan cari mengenai Dr. Mangoshada

Sabtu, 02 Mei 2009

Telaah Pemikiran Ali Syari'ati

KONSEP FILSAFAT SOSIAL DALAM ISLAM MENURUT PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pemikiran, ide, maupun gagasan cemerlang yang lahir dari seorang pemikir tak bisa dilepaskan dari ruang sosio-politik dan kultural dimana ia hidup. Pemikiran adalah buah interaksi individu dengan realitas. Suatu pemikiran akan kehilangan baju historis dan ruh inspirasinya bila diisolasikan dari ruang dan waktu dimana ia lahir. Filsafat sosial Ali Shari’ati pun demikian. Shari’ati tak bisa dilepaskan dari konteks Iran. Pergolakkan dan krisis di Iran era 60-70-an adalah “ibu kandung” filsafat sosial Shari’ati.

Shariati dilahirkan pada 1933 di Mazinan, sebuah suburban dari Sabzevar, Iran. Ayahnya seorang pembicara nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik anaknya.
Ketika belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan, Shariati berkenalan dengan orang-orang muda yang berasal dari golongan ekonomi yang lebih lemah, dan untuk pertama kalinya ia melihat kemiskinan dan kehidupan yang berat yang ada di Iran pada masa itu. Pada saat yang sama ia pun berkenalan dengan banyak aspek dari pemikiran filsafat dan politik Barat, seperti yang tampak dari tulisan-tulisannya. Ia berusaha menjelaskan adn memberikan solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat-masyarakat Muslim melalui prinsip-prinsip Islam yang tradisional, yang terjalin dan dipahami dari sudut pandang sosiologi dan filsafat modern. Shariati juga sangat dipengaruhi oleh Moulana Rumi dan Muhammad Iqbal.

Ia mendapatkan gelar kesarjanaannya dari Universitas Mashhad, kemudian ia melanjutkan studi pasca-sarjananya di Universitas Paris. Di sana ia memperoleh gelar doktor dalam filsafat dan sosiologi pada 1964. Lalu ia kembali ke Iran dan langsung ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Kekaisaran Iran yang menuduhnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan subversif politik ketika masih di Prancis. Ia akhirnya dilepaskan pada 1965, lalu mulai mengajar di Universitas Mashhad. Kuliah-kuliahnya jadi populer di antara mahasiswa dari semua kelas sosial, dan hal ini kembali mengundang tindakan oleh penguasa Kekaisaran yang memaksa Universitas untuk melarangnya mengajar.

Shariati lalu pergi ke Tehran dan mulai mengajar di Institut Hosseiniye Ershad. Kuliah-kuliahnya kembali sangat populer di antara mahasiswa-mahasiswanya dan akibatnya berita menyebar dari mulut ke mulut hingga ke semua sektor ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah dan atas yang mulai tertarik akan ajaran-ajaran Shariati.

Pihak Kekaisaran kembali menaruh perhatian khusus terhadap keberhasilan Shariati yang berlanjut, dan polisi segera menahannya bersama banyak mahasiswanya. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan seruan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan negara, SAVAK, juga mengamati setiap gerakannya dengan cermat.

Shariati menolak syarat-syarat ini dan memutuskan meninggalkan negaranya dan pergi ke Inggris. Tiga minggu kemudian, pada 19 Juni 1977, ia dibunuh. Muncul spekulasi bahwa ia dibunuh entah oleh agen-agen SAVAK atau oleh para pendukung Ayatollah Khomeini yang terlalu fanatik, yang terkenal sebagai penentang keras sikap Shariati yang revolusioner, yang anti-klerus dan mendukung nilai-nilai egalitarian

Shariati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di masa pra-revolusi. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian, khususnya di antara mereka yang menentang rezim Republik Islam
Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman mainstreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afîn). Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.

Dalam konteks situasi politik saat Syari’ati hidup, wacana Islam mainstreem itulah yang digunakan oleh sebagian besar ulama untuk mendukung kekuasaan rezim Syah. Ketika rezim Syah menindas rakyatnya, para ulama rezimis tersebut tidak mampu berbuat apa-apa untuk kepentingan rakyat. Justru ulama itu dipaksa untuk terus-menerus memberikan justifikasi keagamaan atas kebijakan-kebijakan Syah. Syari’ati menganalogkan Islam yang demikian itu sebagai Islam gaya penguasa (Islamnya Usman, Khalîfah ketiga Islam).

B. RUMUSAN MASALAH

Suatu aksi atau gerakan merupakan akumulasi dari keseluruhan pemikiran yang terfokus. Artinya, suatu kegiatan tidak akan berhasil manakala tidak ditopang oleh kesiapan yang komprehensip. Ali Syari’ati dalam upaya mewujudkan cita-citanya tidak terlepas dari konsep pemikirannya yang cukup kompetibel. Keyakinannya akan segala kuasa Allah menjadi pondasi yang sangat kuat untuk senatiasa berkarya dan berjuang.

Rumusan penelitian ini berkisar pada kajian tentang filsafat sosialis Ali Syari’ati dan analisis terhadap pemikirannya. Oleh karena itu, penelitian ini akan difokuskan pada dua hal yang erat kaitannya dengan dasar pemikirannya. Lebih spesipiknya, rumusan ini dibuat dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pemikiran Filsafat sosial Ali Syari’ati?

2. Bagaimana analisis kritis terhadap Filsafat sosial Ali Syari’ati?

C. TUJUAN PENELITIAN

Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pemikiran Filsafat sosial Ali Syari’ati.

2. Untuk mengetahui analisis kritis terhadap Filsafat sosial Ali Syari’ati.



D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi jurusan Hukum Islam

2. Diharapkan jadi pemicu bagi penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang pemikiran Ali Syari’ati.

3. Diharapkan mampu menggali kebenaran sejarah tentang keyakinan yang menjadi dasar perjuangan Ali Syari’ati.


E. TINJAUAN PUSTAKA

Belum penulis temukan penelitian terdahulu tentang pemikiran filsafat sosial Ali Syari’ati khususnya dalam bahasa Indonesia, dan karya-karya Ali Syari’ati biasanya tertulis dalam ceramah-ceramah yang terpisah-pisah. Adapun karya ilmiah yang membicarakan pemikiran Ali Syari’ati :

1. Himpunan ceramah Ali Syari’ati, TENTANG SOSIOLOGI ISLAM, Ananda, Yogyakarta, 1982.
Dari tinjauan pustaka di atas, maka masih banyak yang perlu digali dan banyak celah kosong yang bisa diteliti oleh penulis tentang pemikiran Ali Syari’ati (Analitis Induktif)


F. KERANGKA TEORITIK

Pada masa Ali Syari’ati hidup adalah masa dimana umat muslim menganggap bahwa islam adalah hanya sebatas agama ritual dan fiqih semata yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan.

Harus diakui, bila melacak sumber pemikiran Shari’ati, maka akan ditemukan sebuah panorama yang menunjukkan sebuah keterbukaan (inklusifitas) rujukan. Shari’ati, secara tidak sungkan-sungkan mengutip dan memetik berbagai khazanah pemikiran, baik dari tradisi Barat, Timur maupun Islam.

Dalam banyak karya Shari’ati, bisa dijumpai nama-nama pemikir besar yang ia rujuk, seperti Durkheim, Fanon, Sartre, Heidegger, Marx, Nietzche, Bergson dari tradisi pemikiran Barat, Radakrishnan dari tradisi pemikiran India (Timur), atau Rumi dari tradisi pemikiran Islam.
Keterbukaan dalam rujukan mengantarkan Shari’ati pada suatu gaya (style) berfikir eklektis. Eklektisme, sebagai suatu gaya berfikir, telah dipraktekkan oleh banyak filosof muslim, seperti al-Kindi, pada era filsafat Islam klasik, atau Mohammad Iqbal, pada kurun Modern.

Dalam meramu pemikirannya dengan bahan ide yang kaya, Shari’ati memiliki sikap mendua. Di satu sisi menerima, namun di sisi lain mengkritik habis suatu pemikiran. Kepekaan paradoksal Shari’ati ini bisa dimengerti dari motif dasar kerangka berfikirnya. Motif terdalam yang menggugah Shari’ati adalah motif praxis, yaitu pembebasan, khususnya pembebasan rakyat Iran dari despot-tirani Shah Iran. Maka baginya, perlu sebuah pemikiran yang bisa menjadi ideologi pembebasan yang mampu mengubah kondisi sosio-politik secara revolusioner. Oleh karena itu, Shari’ati selalu melihat segala khazanah pemikiran dari perspektif pembebasan tersebut.


G. KERANGKA KONSEPSIONAL

Variabel Bebas : Filsafat Pemikiran, Perubahan, Pengembangan.
Variabel Tidak bebas : Pemikiran Ali Syari’ati mengenai Filsafat Sosial.
Variabel Antara : Latar belakang Budaya, Ekonomi, Pendidikan Agama.

H. HIPOTESIS

Menurut Shari’ati, revolusi sosial bukan hanya suatu keharusan tapi juga suatu keniscayaan. Pemikirannya ini didasarkan pada teori determinisme-historis. Dalam teori tersebut, sejarah masyarakat manusia bergerak secara siklis, dimana tahap pertama merupakan masa jaya sistem Habil. Selanjutnya, pada tahap kedua, terjadi pergeseran. Masyarakat dikuasai sistem Qabil. Di akhir tahapan, sistem Habil kembali merebut kendali masyarakat. Transisi antara tahap kedua dan tahap ketiga berbentuk revolusi sosial. Revolusi sosial berarti bahwa pelaku utama revolusi tersebut adalah massa atau rakyat (al-nas). Kendalanya, al-nas tak selalu sadar akan kondisi ketertindasan mereka dalam masyarakat Qabilian. Oleh karena itu, dibutuhkan figur yang “memicu dan menumbuhkan” kesadaran akan adanya konflik dialektis di masyarakat. Figur tersebut adalah rausyanfikr. Rausyanfikr bekerja tidak dengan tangan kosong. Ia menggerakkan kesadaran revolusioner massa dengan instrumen ideologi. Jadi, aktor proses kelahiran revolusi sosial adalah rausyanfikr, dan pelaku gerakan revolusinya sendiri adalah al-nas (massa, rakyat).